Semenjak meletusnya Perang Padri 1821 -1837 niat Pemerintah Kolonial Belanda untuk menguasai bumi Minangkabau semakin menyala.
Banyak daerah mulai ditaklukkan, salah satunya Bukik Nan Tinggi yang kemudian mereka namai dengan Fort de Kock. Layaknya penguasa negeri jajahan mereka mewujudkan keinginan dan hasratnya dengan relatif mudah. Di negeri yang indah bernama Fort de Kock, semenjak awal tahun 1900-an mereka memutuskan mendirikan sebuah taman kota atau kebun bunga di Bukit Malabuang. Kebun bunga itu diberi nama Stormpark (Taman Tuan Strom).
Kebun yang telah ditata dengan baik itu kemudian dikembangkan menjadi kebun binatang oleh Drh.J. Heck (dokter hewan), Groeneveld (Asisten Resident Van Agam merangkap voortter Gemeente – Raad Fort de Kock), J.H. Schallig (sekretaris Van de Gemeente- Raad Fort de Kock) dan Edwar Jacoboan (hartawan Belanda).
Pada tanggal 3 Juli 1929 Kebun Bunga Stormpark diubah statusnya menjadi kebun binatang dengan nama “Fort de Kocksche Dieren Park” atau Kebun Binatang Fort de Kock. Dimasa awal pengembangannya kebun binatang ini sudah membangun kandang-kandang yang permanen dan bagus (untuk masa itu). Sejak Juli itu pula kebun binatang ini telah diisi dengan binatang-binatang seperti: kelici, burung, ayam hutan, dan kuaw.
Melihat kebun binatang yang makin baik dan berkembang, maka atas anjuran Controleur Mr. Mondelar, maka pada tanggal 1 Juli 1935 dibangunlah Rumah Adat Baanjuang di area kebun binatang ini.
Saat itu “Fort de Kocksche Dieren Park” dipemimpin oleh pegawai Belanda bernama : Nutzman. Bangunan rumah adat itu didirikan di atas bekas lapangan tenis-Baan di tengah-tengah lokasi kebun binatang. Rumah Adat Baanjuang ini dibangun dengan ukuran 36,5 x 10 m2, dengan 7 gonjong.
Rumah adat ini menggunakan konstruksi gajah maharam yang merupakan rumah adat jenis kelarasan Koto Piliang. Bangunan ini terdiri dari 7 ruang dengan anjungan pada kiri dan kanan rumah gadang.
Rumah adat ini dibangun oleh tukang-tukang ahli dari Panyalaian Padang Panjang, Lasi IV Angkat Canduang. Kayu yang digunakan adalah kayu-kayu tua yang terdapat di sekitar kota Bukittinggi dan Agam.
Atapnya menggunakan ijuk yang dibawa langsung dari Batusangkar dan Solok. Dinding-dinding depan dilengkapi dengan ukiran-ukiran khas Minangkabau. Setiap jenis ukiran memiliki nilai-nilai filosofi yang tinggi bagi masyarakat Minang. Selain nilai filosofi dapat dilihat juga nilai fungsi dan penggunaan rumah gadang dan manfaat rangkiang-rangkiang yang ada di halamannya.
Selain pembangunan rumah gadang, pada tanggal 1 September 1935 juga dibangun sebuah restoran oleh pengusaha China di area Kebun Binatang Bukittinggi. Disisi lain, sejak tahun 1931 sampai tahun 1935 dilakukan pembangunan kandang dan penambahan hewan koleksi seperti harimau, beruang hitam, macan tutul, orang hutan, ular, anoa, buaya dan banteng liar.
Pada tahun 1955/1956 Rumah Gadang ini telah dilengkapi dengan rangkiang di halamannya yaitu Rangkiang Si Bayau-bayau dan Rangkiang Si Tinjau Lauik, dibagian samping kanan dibangun juga sebuah rumah tabuah. Rumah Gadang ini dijadikan sebagai museum yang mengoleksi barang-barang budaya dan benda-benda kuno yang memiliki nilai sejarah.
Melihat dari kondisi ruang tengah rumah gadang ini, kita bisa saksikan bahwa bangunan ini bukan dipersiapkan untuk rumah hunian. Namun memang telah dirancang menjadi sebuah ruang pamer yang luas tanpa kamar. Dalam kajian ilmu permuseuman bila melihat kondisi, koleksi dan fungsi maka Rumah Adat Nan Baanjuang ini adalah sebuah museum etnografi. Museum etnografi adalah museum tematik yang mengangkat satu tema khusus seperti aspek budaya, antropologi, dan lain-lain. Hal ini telah dilakukan pemerintah Kolonial Belanda yang mengisi rumah adat ini dengan berbagai koleksi budaya Minangkabau.
Dalam catatan sejarah di Indonesia, museum tertua telah didirikan pada tahun 1890 di Jawa Tengah. Museum Radya Pustaka yang berisi peninggalan sejarah berupa buku kuno, pusaka adat, wayang kulit, arca zaman Hindu-Budha. Sejak awal pendiriannya telah diperuntukkan menjadi sebuah museum.
Sementara itu Museum Rumah Adat Nan Baanjuang diririkan pada tahun 1935 dapat kita prediksi sebagai museum tertua ke dua di Indonesia. Sebab dalam pencarian kami, museum lain yang berusia lebih tua adalah museum dengan pengalihan fungsi bangunan. Seperti bangunan kantor, gereja dan lainnya yang dikemudian hari beralih sebagai museum. Museum yang dibangun setelah kemerdekaan baru ada pada tahun 1971 dengan berdirinya Museum Mulawarman, yang juga merupakan alih fungsi dari Istana Kesultanan Kutai Kertanegara. Jadi perlu disosialisasikan bahwa Museum Rumah Adat Nan Baanjuang adalah museum tertua kedua di Indonesia sehingga nilai ketertarikan dan minat kunjung bisa bertambah.
Apalagi keorisinilan bangunan ini masih terjaga dengan baik. Selamat hari jadi Museum Rumah Adat Nan Baanjuang yang ke 89 semoga makin mencerahkan dan memajukan kebudayaan.
Via
budaya
Posting Komentar