Liveable City
detikjamgadang.com ''Liveable City’ dikenal juga dengan istilah ‘Kota yang Layak Huni’. Salah satu instrument Kota yang dapat disebut dengan ‘Liveable City’ ini dapat dilihat dari enam indikator yang ada, salah satu instrumennya adalah ‘Smart Living Consept’. Ini merupakan cara pandang dan pola pikir yang berlandaskan pada paradigma Kenyamanan, Praktis dan juga Kreatif dan menjadi Tempat bermukim dan Tujuan wisata.
Ketika kita bicara Kota yang Layak huni, dari literatur yang ada dapat kita ketahui, Kota Bukittinggi pada zamannya, juga merupakan tempat tujuan Belanda untuk bermukim. Begitu indahnya Kota ini pada zamannya, bahkan Bukittinggi pernah dijuluki sebagai Parijs van Sumatra oleh Belanda. Tapi itu dulu.
Namun sekarang, saya akan melihat Bukittinggi dari luar. Saat ini saya sedang melakukan kunjungan kerja ke Victoria-Australia. Saya tentu saja tidak akan membandingkan Melbourne dengan Kota Bukittinggi. Tapi jangan lupa, Melbourne sebagai Ibu kota negara bagian, juga memiliki beberapa Kota seperti, Benalla, Ballarat, Bendigo, Geelong, Latrobe City, Mildura, Shepparton, Wangaratta, Warrnambool dan Wodonga. Saya akan coba elaborasi Bukittinggi dulu dan sekarang, dengan salah satu kota yang ada di Victoria.
Pada umumnya Kota-kota yang ada di Victoria memiliki standard lingkungan yang ramah. Lingkungan yang ramah itu, dapat tercipta adanya rasa Aman dan Nyaman. Namun coba kita lihat kondisi Kota Bukittinggi saat ini. Bila kita berada di pusat kota, di seputaran Jam Gadang dan beberapa titik sekitarnya, kita dengan mudah menemukan para pedagang asongan yang mengisi setiap ruang, bahkan berjalanpun terasa susah. Beberapa waktu lalu, kita juga pernah mendengar Bogor yang dipadati dengan kendaraan angkot sehingga Kota Bogor pernah mendapat istilah Kota Seribu Angkot. Begitu juga dengan Bukittinggi. Sekarang Bukittinggi sudah mendapat julukan Kota Seribu Asongan. Belum lagi masalah parkir yang semberaut dan berlapis, bahkan mobil yang diparkirpun dapat digunakan untuk berjualan. Itu yang kita rasakan saat ini. Sebagai informasi tambahan, kondisi Kota saat ini, dapat juga kita baca pemberitaannya di berbagai media on-line salah satunya itu yang saya baca di Victoria - Australia.
Bukittinggi memang kecil wilayahnya dan termasuk Kota kecil kedua yang ada di Sumatera Barat sesudah Padang Panjang. Namun dalam mengelola Kota, Kepala Daerah tidak bisa selalu berlindung dibalik kecilnya lahan yang tersedia. Kepala Daerah harus dapat menciptakan bagaimana yang kecil itu menjadi indah, ‘Small is Beautiful’. Kepala Daerah harus dapat mengelola dana APBD yang diterima dari pusat secara maksimal dan harus dapat mencarikan sumber dana untuk PAD semaksimal mungkin, karena kalau Kepala Daerah hanya menggunakan dana APBD, itu jelas tidak banyak yang dapat diterima untuk kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana kita ketahui, dana APBD yang diterima, itu sebagian besar dipastikan habis dipergunakan untuk belanja wajib seperti belanja pegawai, bidang pendidikan, kesehatan, apalagi Bukittinggi sudah mengikuti program Universal Healt Coverage (UHC), ditambah operasional rutin SKPD, ini tentu saja sedikit lagi dana yang tersedia, bisa bisa defisit.
Bukittinggi bukanlah Kota industri. Bukittinggi saat ini hanya bergantung pada sektor industri pariwisata. Di sinilah peran Kepala Daerah bagaimana menciptakan ‘Smart Living Consept’ yang berlandaskan pada paradigma Kenyamanan, Praktis dan juga Kreatif dan menjadi tempat bermukim dan tujuan wisata. Kepala Daerah harus dapat menciptakan dan menjadikan Kota yang memiliki standard ‘Smart Environment’ (lingkungan pintar), yaitu sebuah lingkungan atau Kota yang bisa memberikan Kenyamanan, Keberlanjutan Sumber Daya, Keindahan Fisik maupun Non Fisik, Lingkungan yang bersih tertata dan Ruang terbuka hijau (RTH). Bila itu tidak dilakukan, Bukittinggi akan tertinggal dengan Kabupaten Kota yang ada di Sumatera Barat dan itu sudah mulai dirasakan.
Dr. Gusrizal
•Pemerhati Lingkungan
•Staf Bidang Hubungan Luar Negeri Universitas Fort de Kock
Posting Komentar